DILEMA
Suatu keadaan dimana dihadapkan pada dua
alternative pilihan, yang kelihatannya sama atau hampir sama dan membutuhkan
pemecahan masalah. Dilema muncul karena terbentur pada konflik moral,
pertentangan batin, atau pertentangan antara nilai-nilai yang diyakini bidan
dengan kenyataan yang ada
1.
ABORSI
Aborsi
adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mencapai viabilitas dengan usia
kehamilan < 22 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram.
Aborsi
dan Kehamilan tidak diinginkan (KTD)
merupakan permasalahan yang terabaikan dibanyak negara berkembang,
termasuk Indonesia. Sebagai tenaga
kesehatan yang menyatu dengan masyarakat, bidan sering didatangi oleh perempuan
dengan masalah ini. Penyebab terjadinya
aborsi dan KTD : korban perkosaan, pengetahuan yang kurang tentang kesehatan
reproduksi, hingga kegagalan kontrasepsi. Menghadapi masalah tersebut bidan harus berperang antara keinginan menolong dengan hati nurani
yang bertentangan, belum lagi hukum yang melarang tindakan aborsi.
Menolak atau tidak peduli pada perempuan yang
mengalami permasalahan dengan KTD seringkali berdampak fatal. Banyak kejadian yang menyebabkan
perempuan cari jalan pintas dengan melakukan aborsi tidak aman. Aborsi tidak aman bisa dilakukan oleh perempuan itu
sendiri, orang lain yang tidak memiliki keterampilan medis, tenaga kesehatan
yang tidak memenuhi standar kemampuan dan kewenangan.
Dalam dunia
kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu :
a. Aborsi Spontan
/ Alamiah : berlangsung tanpa tindakan. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel
telur dan sel sperma.
b. Aborsi Buatan /
Sengaja : pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang
disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun pelaksana aborsi.
c. Aborsi Terapeutik / Medis : pengguguran
kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh,
calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau
penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin
yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak
tergesa-gesa.
Beberapa hal
yang bisa dilakukan oleh bidan untuk turut andil, upaya untuk menurunkan
kematian ibu dengan aborsi :
a.
Mencegah terjadinya KTD dengan cara :
1)
melakukan advokasi kemasyarakat tentang isu - isu kespro
2)
consent inform kepada klien kontrasepsi
b.
Melakukan konseling pada perempuan dengan masalah KTD, tanpa sikap menghakimi
c.
Sampaikan informasi yang diperlukan,
misalnya :
1)
Prosedur aborsi yang aman, kemungkinan efek samping
2)
Macam aborsi tidak aman dan dampaknya
3)
Resiko dari setiap keputusan yang diambil klien
4)
Cara mencegah KTD dikemudian hari
d.
Untuk kasus - kasus tertentu (KTD akibat perkosaan) / klien tetap memutuskan
ingin mengakhiri kehamilannya, rujuk klien kepada tenaga kesehatan yang
memiliki keahlian dan keterampilan untuk tindakan aborsi yang aman.
2.
EUTHANASIA
a. Pengertian
Euthanasia
berasal dari Bahasa Yunani yaitu : ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan
θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan
kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa
sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara
memberikan suntikan yang mematikan.
Aturan hukum mengenai masalah ini
berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma
budaya maupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia
dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya
dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini,
pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status
hukumnya.
b. Kategori Euthanasia
Bila ditinjau dari cara
pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :
1)
Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara
sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan
dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral
maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah
tablet sianida.
2)
Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia)
digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas
dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa
penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut
diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil"
(pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu
praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
3)
Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif
yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan
pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja.
Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami
kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit
seperti morfin yang disadari justru akan
mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara
terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa
dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang
menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena
ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus
keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada
permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang
paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara
alamiah sebagai upaya defensif medis.
c.
Euthanasia Ditinjau dari Sudut Pemberian Izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin
maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
1)
Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang
bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia
semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
2)
Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali
menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh
siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau
tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah
seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat
kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil
keputusan bagi si pasien.
3)
Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri,
namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.
d. Euthanasia Ditinjau Dari Sudut
Tujuan
Beberapa
tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
1) Pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
2) Eutanasia hewan
3) Eutanasia berdasarkan
bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara
sukarela
3. ADOPSI / Pengangkatan
anak
Adopsi berasal dari kata “adaptie” dalam
bahasa Belanda. Menurut kasus hukum berarti “Pengangkatan seorang anak untuk
anak kandungnya sendiri”. Dalam bahasa Malaysia dipakai kata adopsi, berarti
anak angkat atau mengangkat anak. Sedangkan dalam Bahasa Inggris, “Edoft”
(Adaption), berarti pengangkatan anak atau mengangkat anak. Dalam bahasa Arab
disebut “Tabanni” yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “Mengambil
Anak Angkat”.
Sistim Hukum yang Mengatur
Adopsi / Pengangkatan Anak
1)
Hukum Barat (BW)
Dalam kitab UU Hukum Perdata (KUHP) tidak
ditentukan satu ketentuan yang mengatur
masalah adopsi atau anak angkat yang ada hanyalah ketentuan tentang
pengangkatan anak di luar kawin, seperti yang diatur dalam buku BW hal XII
bagian ketiga, pasal 280-289, tentang pengakuan anak diluar kawin. Karena
tuntutan masyarakat, maka dikeluarkan
oleh Pemerintah Hindia Belanda : Staats Blad no : 124/1917, khusus pasal 5-15,
yg mengatur masalah adopsi anak / anak angkat.
2)
Pasal 8 menyebutkan bahwa ada 4 syarat untuk
pengangkatan anak :
a)
Persetujuan orang yang mengangkat anak.
b)
Jika anak diangkat adalah anak syah dari orangtuanya, diperlukan izin dari
orangtuanya itu. Jika bapaknya sudah wafat dan ibunya kawin lagi, kasus ada
persetujuan dari walinya.
c)
Jika anak yang diangkat lahir di luar perkawinan, izin diperlukan dari orangtua yang mengakui
sebagai anaknya. Jika anak tidak diakui harus ada persetujuan dari walinya.
d)
Jika anak yang akan diangkat sudah berusia 14 tahun, maka persetujuan adalah
dari anak sendiri.
4. TRANSPLANTASI
a.
Pengertian
Transplantasi organ adalah
transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu
tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan
untuk menggantikan organ
yang rusak atau tak befungsi pada
penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor. Donor organ dapat merupakan orang yang masih
hidup ataupun telah meninggal.
Teknik transplantasi dimungkinkan
untuk memindahkan suatu organ atau jaringan tubuh manusia yang masih berfungsi
baik, baik dari orang yang masih hidup maupun yang sudah meninggal ke tubuh
manusia lain.
Dalam penyembuhan suatu penyakit, adakalanya transplantasi tidak dapat dihindari dalam menyelamatkan nyawa si penderita. Dengan keberhasilan teknik transplantasi dalam usaha penyembuhan suatu penyakit dan dengan meningkatnya keterampilan dokter – dokter dalam melakukan transplantasi. Upaya transplantasi mulai diminati oleh para penderita dalam upaya penyembuhan yang cepat dan tuntas. Untuk mengembangkan transplantasi sebagai salah satu cara penembuhan suatu penyakit tidak dapat bagitu saja diterima masyarakat luas. Pertimbangan etik, moral, agama, hukum, atau sosial budaya ikut mempengaruhinya.
Dalam penyembuhan suatu penyakit, adakalanya transplantasi tidak dapat dihindari dalam menyelamatkan nyawa si penderita. Dengan keberhasilan teknik transplantasi dalam usaha penyembuhan suatu penyakit dan dengan meningkatnya keterampilan dokter – dokter dalam melakukan transplantasi. Upaya transplantasi mulai diminati oleh para penderita dalam upaya penyembuhan yang cepat dan tuntas. Untuk mengembangkan transplantasi sebagai salah satu cara penembuhan suatu penyakit tidak dapat bagitu saja diterima masyarakat luas. Pertimbangan etik, moral, agama, hukum, atau sosial budaya ikut mempengaruhinya.
Transplantasi ditinjau dari sudut si
penerima, dapat dibedakan menjadi :
1)
Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain
dalam tubuh orang itu sendiri.
2)
Homotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh
seseorang ke tubuh orang lain.
3)
Heterotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari suatu
spesies ke tubuh spesies lainnya.
b. Masalah Etik dan Moral dalam Transplantasi
1)
Donor Hidup
Adalah orang yang memberikan
jaringan / organnya kepada orang lain ( resepien ). Sebelum memutuskan untuk
menjadi donor, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang dihadapi,
baik resiko di bidang medis, pembedahan, maupun resiko untuk kehidupannya lebih
lanjut sebagai kekurangan jaringan / organ yang telah dipindahkan. Disamping
itu, untuk menjadi donor, sesorang tidak boleh mengalami tekanan psikologis.
Hubungan psikis dan omosi harus sudah dipikirkan oleh donor hidup tersebut
untuk mencegah timbulnya masalah.
2)
Jenazah dan donor mati
Adalah orang yang semasa hidupnya
telah mengizinkan atau berniat dengan sungguh – sungguh untuk memberikan
jaringan / organ tubuhnya kepada yang memerlukan apabila ia telah meninggal
kapan seorang donor itu dapat dikatakan meninggal secara wajar, dan apabila
sebelum meninggal, donor itu sakit, sudah sejauh mana pertolongan dari dokter
yang merawatnya. Semua itu untuk mencegah adanya tuduhan dari keluarga donor
atau pihak lain bahwa tim pelaksana transplantasi telah melakukan upaya
mempercepat kematian seseorang hanya untuk mengejar organ yang akan
ditransplantasikan.
3)
Keluarga donor dan ahli waris
Kesepakatan keluarga donor dan
resipien sangat diperlukan untuk menciptakan saling pengertian dan menghindari
konflik semaksimal mungkin atau pun tekanan psikis dan emosi di kemudian hari.
Dari keluarga resepien sebenarnya hanya dituntut suatu penghargaan kepada donor
dan keluarganya dengan tulus. Alangkah baiknya apabila dibuat suatu ketentuan
untuk mencegah tinmulnya rasa tidak puas kedua belah pihak.
4)
Resipien
Adalah orang yang menerima jaringan / organ orang lain. Pada dasarnya, seorang penderita mempunyai hak untuk mendapatkan perawatan yang dapat memperpanjang hidup atau meringankan penderitaannya. Seorang resepien harus benar – benar mengerti semua hal yang dijelaskan oleh tim pelaksana transplantasi. Melalui tindakan transplantasi diharapkan dapat memberikan nilai yang besar bagi kehidupan resepien. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa hasil transplantasi terbatas dan ada kemungkinan gagal. Juga perlu didasari bahwa jika ia menerima untuk transplantasi berarti ia dalam percobaan yang sangat berguna bagi kepentingan orang banyak di masa yang akan datang.
Adalah orang yang menerima jaringan / organ orang lain. Pada dasarnya, seorang penderita mempunyai hak untuk mendapatkan perawatan yang dapat memperpanjang hidup atau meringankan penderitaannya. Seorang resepien harus benar – benar mengerti semua hal yang dijelaskan oleh tim pelaksana transplantasi. Melalui tindakan transplantasi diharapkan dapat memberikan nilai yang besar bagi kehidupan resepien. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa hasil transplantasi terbatas dan ada kemungkinan gagal. Juga perlu didasari bahwa jika ia menerima untuk transplantasi berarti ia dalam percobaan yang sangat berguna bagi kepentingan orang banyak di masa yang akan datang.
5)
Dokter dan tenaga pelaksana lain
Untuk melakukan suatu transplantasi,
tim pelaksana harus mendapat parsetujuan dari donor, resepien, maupun keluarga
kedua belah pihak. Ia wajib menerangkan hal – hal yang mungkin akan terjadi
setelah dilakukan transplantasi sehingga gangguan psikologis dan emosi di
kemudian hari dapat dihindarkan. Tnaggung jawab tim pelaksana adalah menolong
pasien dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. Dengan demikian,
dalam melaksanakan tugas, tim pelaksana hendaknya tidak dipengaruhi oleh
pertimbangan – pertimbangan kepentingan pribadi.
6)
Masyarakat
Secara tidak sengaja masyarakat turut menentukan perkembangan transplantasi. Kerjasama tim pelaksana dengan cara cendekiawan, pemuka masyarakat, atau pemuka agama diperlukan unutk mendidik masyarakat agar lebih memahami maksud dan tujuan luhur usaha transplantasi. Dengan adanya pengertian ini kemungkinan penyediaan organ yang segera diperlikan, atas tujuan luhur, akan dapat diperoleh.
Secara tidak sengaja masyarakat turut menentukan perkembangan transplantasi. Kerjasama tim pelaksana dengan cara cendekiawan, pemuka masyarakat, atau pemuka agama diperlukan unutk mendidik masyarakat agar lebih memahami maksud dan tujuan luhur usaha transplantasi. Dengan adanya pengertian ini kemungkinan penyediaan organ yang segera diperlikan, atas tujuan luhur, akan dapat diperoleh.
c. Transplantasi Ditinjau dari Aspek Hukum
Pada saat ini peraturan perundang –
undangan yang ada adalah Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1981, tentang Bedah
Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan
Tubuh Manusia. Pokok – pokok peraturan tersebut adalah :
1) Pasal 10
Transplantasi alat untuk jaringan
tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan – ketentuan yaitu harus
dengan persetujuan tertulis penderita dan keluarganya yang trdekat setelah
penderita meninggal dunia.
2) Pasal 14
Pengambilan alat atau jaringan tubuh
manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari korban kecelakaan
yang meninggal dunia, dilakukan dengan pernyataan tertulis keluarga terdekat.
3) Pasal 15
Sebelum persetujuan tentang
transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon donor hidup,
calon donor yang bersngkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang
merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi, akibat – akibat
dan kemungkinan – kemungkinan yang dapat terjadi. Dokter yang merawatnya harus
yakin benar bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti
dari pemberitahuan tersebut.
4) Pasal 16
Donor atau keluarga donor yang
meninggal dunia tidak berhak atas suatu kompensasi material apapun sebagai
imbalan transplantasi.
5) Pasal 17
Dilarang memperjual – belikan alat
atau jaringan tubuh manusia.
6) Pasal 18
Dilarang mengirim dan menerima alat
dan jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk keadaan dari luar negri
5.
BAYI TABUNG
Bayi tabung adalah upaya jalan pintas
untuk mempertemukan sel sperma dan sel telur diluar tubuh (in vitro
fertilization). Setelah terjadi konsepsi hasil tersebut dimasukkan kembali ke
dalam rahim ibu atau embrio transfer sehingga dapat tumbuh menjadi janin
sebagaimana layaknya kehamilan biasa. Status bayi tabung ada 3 macam :
1. Inseminasi buatan dengan sperma suami.
2. Inseminasi
buatan dengan sperma donor.
3. Inseminasi
bautan dengan model titipan.
Beberapa Negara memperbolehkan donor sperma bukan suami,
dan diakui secara legal. Kerahasiaan identitas donor yang bukan suami
senantiasa dijaga, untuk menghindarkan masalah dikemudian hari. Terkait dengan
proses bayi tabung, pada tahun 1979, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah
mengeluarkan fatwanya. Pada intinya, para ulama menyatakan bahwa bayi tabung
diperbolehkan selama sperma yang didonorkan berasal dari suami yang sah dari si
perempuan yang rahimnya hendak digunakan dalam proses bayi tabung. Hal itu karena
memanfaatkan teknologi bayi tabung merupakan hak bagi pasangan yang berikhtiar
untuk memperoleh keturunan. Namun, jika sperma dan rahim yang digunakan bukan
berasal dari pasangan suami istri yang sah, maka hal itu statusnya sama dengan
hubungan kelamin antara lawan jenis di luar pernikahan yang sah. Dengan kata
lain, bisa terjadi rahim seorang perempuan dipinjamkan untuk proses bayi tabung
dari embrio seorang lelaki yang bukan suaminya. Nah, hal itu sama saja dengan
perzinaan.
Pengambil Keputusan dalam Menghadapi Dilema Etik / Moral
Pelayanan Kebidanan
Menurut
Daryl Koehn (1994) bidan dikatakan profesional bila dapat menerapkan etika
dalam menjalankan praktik. Bidan ada dalam posisi baik yaitu memfasilitasi
pilihan klien dan membutuhkan peningkatan pengetahuan tentang etika untuk
menetapkan dalam strategi praktik kebidanan.
Menurut
George R.Terry, pengambilan keputusan adalah memilih alternatif yang ada. Ada
5 (lima) hal pokok dalam pengambilan keputusan:
1.
Intuisi berdasarkan perasaan, lebih subyektif dan mudah terpengaruh
2.
Pengalaman mewarnai pengetahuan praktis, seringnya terpapar suatu kasus
meningkatkan kemampuan mengambil keputusan terhadap nsuatu kasus
3.
Fakta, keputusan lebih riel, valit dan baik.
4.
Wewenwng lebih bersifat rutinitas
5.
Rasional, keputusan bersifat obyektif, trasparan, konsisten
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengambilan
Keputusan :
1.
Posisi/kedudukan
2.
Masalah, terstruktur, tidak tersruktur
3.
Situasi
4.
Kondisi
5. Tujuan
Kerangka
Pengambilan Keputusan dalam asuhan kebidanan memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1.
Bidan harus mempunyai responsibility dan accountability.
2.
Bidan harus menghargai wanita sebagai individu dan melayani dengan rasa hormat.
3.
Pusat perhatian pelayanan bidan adalah safety and wellbeing mother.
4.
Bidan berusaha menyokong pemahaman ibu tentang kesejahteraan dan menyatakan
pilihannya pada pengalaman situasi yang aman.
5.
Sumber proses pengambilan keputusan yang lainnya adalah :
a.
Knowledge
b.
Ajaran intrinsic
c.
Kemampuan berfikir kritis
d.
Kemampuan membuat keputusan klinis yang logis
Pengambilan keputusan yang etis
1.
Ciri keputusan yang etis, meliputi :
a.
Mempunyai pertimbangan benar salah
b.
Sering menyangkut pilihan yang sukar
c.
Tidak mungkin dielakkan
d.
Dipengaruhi oleh norma,situasi,iman,lingkungan social.
2.
Situasi
a.
Mengapa kita perlu situasi:
1)
Untuk menerapkan norma-norma terhadap situasi
2)
Untuk melakukan perbuatan yang tepat dan berguna
3)
Untuk mengetahui masalah-masalah yang perlu diperhatikan
b.
Kesulitan-kesulitan dalam mengerti situasi:
1)
Kerumitan situasi dan keterbatasan pengetahuan kita
2)
Pengertian kita terhadap situasi sering dipengaruhi oleh kepentingan, prasangka
dan factor-faktor subjektif lain
c.
Bagaimana kita memperbaiki pengertian kita tentang situasi :
1)
Melakukan penyelidikan yang memadai
2)
Menggunakan sarana ilmiah dan keterangan para ahli
3)
Memperluas pandangan tentang situasi
4)
Kepekaan terhadap pekerjaan
5)
Kepekaan terhadap kebutuhan orang lain
Sistim pengambilan keputusan merupakan bagian dasar dan integral dalam praktek
suatu profesi. Keberadaan yang sangat penting, karena akan menentukan tindakan
selanjutnya. Keterlibatan bidan dalam proses pengambilan keputusan sangat
penting karena dipengaruhi oleh 2 hal :
1.
Pelayanan ”one to one” : Bidan menghadapi klien secara perorangan dan
bidan bisa memenuhi kebutuhan klien sesuai wewenang.
2.
Meningkatkan sensitivitas terhadap klien bidan
berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan.
Pertimbangan
Moral Dalam Pengambilan Keputusan Ketika Menghadapi Delima Etik :
Ø TK I
Keputusan
dan tindakan : Bidan merefleksikan pada pengalaman atau pengalaman rekan kerja.
Ø TK
II
Peraturan : berdasarkan
kaidah kejujuran ( berkata benar), privasi, kerahasiaan dan kesetiaan (
menepati janji. Bidan sangat familiar, tidak meninggalkan kode etik dan panduan
praktek profesi.
Ø TK III
Ada
4 prinsip etik yang digunakan dalam perawatan praktek kebidanan:
·
ANTONOMY,
memperhatikan penguasaan diri, hak kebebasan dan pilihan individu.
·
BENETICENCE,
memperhatikan peningkatan kesejahteraan klien, selain itu berbuat terbaik untuk
orang lain.
·
NON
MALETICENCE, tidak melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan apapun
kerugian pada orang lain.
·
YUSTICE,
memperhatikan keadilan, pemerataan beban dan keuntungan. ( Beaucamo &
Childrens 1989 dan Richard, 1997)
Dasar Pengambilan keputusan :
1.
Bersifat segera
2.
Keterpaksaaan karena suatu krisis, yang menuntut sesuatu unutuk segera
dilakukan.
Bentuk pengambilan keputusan :
1.
Strategi : dipengaruhi oleh kebijakan organisasi atau pimpinan, rencana dan
masa depan, rencana bisnis dan lain-lain.
2.
Cara kerja : yang dipengaruhi pelayanan kebidanan di dunia, klinik, dan
komunitas.
3.
Individu dan profesi : dilakukan oleh bidan yang dipengaruhi oleh standart
praktik kebidanan.
Pendekatan tradisional dalam pengambilan keputusan :
1.
Mengenal dan mengidentifikasi masalah
2.
Menegaskan masalah dengan menunjukan hubungan antara masa lalu dan sekarang.
3.
Memperjelas hasil prioritas yang ingin dicapai.
4.
Mempertimbangkan pilihan yang ada.
5.
Mengevaluasi pilihan tersebut.
6.
Memilih solusi dan menetapkan atau melaksanakannya.
Pengambilan Keputusan yang Etis
Ciri
2nya:
1.
Mempunyai pertimbangan yang benar atau salah
2.
Sering menyangkut pilihn yang sukar
3.
Tidak mungkin dielakkan
4.
Dipengaruhi oleh norma, situasi, iman,lingkungan social.
Pengambilan keputusan dalam keadaan kritis :
1.
Identifikasi dan tegaskan apa masalahnya, baik oleh sendiri atau dengan orang
lain.
2.
Tetapkan hasil apa yang diinginkan.
3. Uji
kesesuaian dari setiap solusi yang ada.
4.
Pilih solusi yang lebih baik.
5.
Laksanakan tindakan tanpa ada keterlambatan.
TEORI-TEORI PENGAMBILAN KEPUTUSAN
1.
Teori Utilitarisme
Teori utilitarisme mengutamakan
adanya konsekuensi kepercayaan adanya kegunaan. Dipercaya bahwa semua manusia
mempunyai perasaan menyenangkan dan perasaan sakit. Ketika keputusan dibuat
seharusnya memaksimalkan kesengangan dan meminimalkan ketidaksenangan. Prinsip
umum dan utilitarisme adalah didasarkan bahwa tibdakan moral menghasilkan
kebahagiaan yang besar bila menghasilkan jumlah atau angka yang besar . Ada 2
bentuk teori utilitarisme :
a)
Utilitarisme berdasarkan tindakan
Setiap tindakan ditujukan untuk
keuntungan yang akan menghasilkan hasil atau tindakan yang lebih besar.
b)
Ultilitarisme berdasarkan aturan
Modifikasi antara utilitarisme
tindakan dan aturan moral, aturan yang baik akan menghasilkan keuntungan yang
maksimal.
2.
Teori Deontology
Menurut Immanuel Kant: sesuatu
dikatakan baik dalam arti sesungguhnya adalah kehendak yang baik, kesehatan,
kekayaan, kepandaian adalah baik, jika digunakan dengan baik oleh kehendak
manusia, tetapi jika digunakan dengan kehendak yang jahat, akan menjadi jelek
sekali. Kehendak menjadi baik jika bertindak karena kewajiban . Kalau seseorang
bertindak karena motif tertentu atau keinginan tertentu berarti disebut
tindakan yang tidak baik. Bertindak sesuai kewajiban disebut legalitas. Menurut
W.D Ross (1877-1971) setiap manusia mempunyai intuisi akan kewajiban,
semua kewajiban berlaku langsung pada diri kita. Kewajiban untuk mengatakan
kebenaran merupakan kewajiban utama, termasuk kewajiban kesetiaan, ganti rugi,
terima kasih, keadilan, berbuat baik.
Contoh : bila berjanji harus
ditepati, bila meminjam harus dikembalikan. Dengan memahami kewajiban akan
terhindar dari keputusan yang menimbulkan konflik atau dilema.
3.
Teori Hedonisme
Menurut Aristippos(433-355 SM)
sesuai kodratnya setiap manusia mencari kesenangan dan menhindari ketidak
senangan. Akan tetapi ada batas untuk mencari kesenangan. Hal yang penting
adalah menggunakan kesenangan dengan baik dan tidak terbawa oleh kesenangan.
Menurut epikuros(341-270 SM) dalam menilai kesenangan(hedone) tidak hanya
kesenangan indrawi tetapi kebebasan dan rasa nyeri, kebebasan dari keresahan
jiwa juga. Apa tujuan terakhir dari kehidupan manusia adalah kesenangan.
Menurut john locke(1632-1704), kita sebut baik bila meningkatkan kesenangan dan
sebaliknya dinamakan jahat kalau mengurangi kesenangan atau menimbulkan ketidak
senangan.
4.
Teori Eudemonisme
Menurut Filsuf Yunani Aristoteles
(384-322 SM) , bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan,
ingin mencapai sesuatu yang baik bagi kita. Seringkali kita mencari tujuan
untuk mencapai suatu tujuan yang lain lagi. Semua orang akan menyetujui bahwa
tujuan terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Seseorang mampu
mencapai tujuannya jika mampu menjalankan fungsinya dengan baik, keunggulan
manusia adalah akal dan budi. Manusia mencapai kebahagiaan dengan menjalankan
kegiatan yang rasional. Adadua macam keutamaan, yaitu :
a.
Keutamaan intelektual
b.
Keutamaan moral
Dimensi etik dalam peran bidan
Peran
bidan secara menyeluruh meliputi beberapa aspek :
·
Praktisi
·
Penasehat
·
Konselor
·
Teman
·
Pendidik
·
Peneliti
Menurut
United Kingdom Central Council (UKCC) 1999, tanggungjawab bidan meliputi
:
Ø Mempertahankan dan meningkatkan
keamanan ibu dan bayi
Ø Menyediakan pelayanan yang
berkualitas dan informasi serta nasehat yang didasarkan pada evidence based.
Ø Mendidik dan melatih calon bidan
untuk bekerjasama dalam profesi dan memberikan pelayanan dengan memiliki
tanggungjawab yang sama, termasuk dengan teman sejawat atau kolega sehingga
bagaimana agar fit for practice and fit for purpose (menguntungkan untuk
praktek dan menguntungkan untuk tujuan)
Dimensi kode etik , meliputi :
v Antara anggota profesi dan klien
v Antara anggota profesi dan system
kesehatan
v Antara anggota profesi dan profesi
kesehatan
v Antara sesama anggota profesi
Prinsip kode etik terdiri dari :
| Menghargai otonomi
| Melakukan tindakan yang benar
| Mencegah tindakan yang dapat
merugikan
| Memperlakukan manusia dengan adil
| Menjelaskan dengan benar
| Menepati janji yang telah disepakati
| Menjaga kerahasiaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar