Senin, 02 Februari 2015

delima etik & pengambilan keputusan






DILEMA ETIK & PENGAMBILAN KEPUTUSAN

DILEMA
Suatu keadaan dimana dihadapkan pada dua alternative pilihan, yang kelihatannya sama atau hampir sama dan membutuhkan pemecahan masalah. Dilema muncul karena terbentur pada konflik moral, pertentangan batin, atau pertentangan antara nilai-nilai yang diyakini bidan dengan kenyataan yang ada
1.      ABORSI
Aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mencapai viabilitas dengan usia kehamilan < 22 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram.
Aborsi dan Kehamilan tidak diinginkan (KTD)  merupakan permasalahan yang terabaikan dibanyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebagai  tenaga kesehatan yang menyatu dengan masyarakat, bidan sering didatangi oleh perempuan dengan masalah ini. Penyebab  terjadinya aborsi dan KTD : korban perkosaan, pengetahuan yang kurang tentang kesehatan reproduksi, hingga kegagalan kontrasepsi. Menghadapi  masalah tersebut bidan harus berperang  antara keinginan menolong dengan hati nurani yang bertentangan, belum lagi hukum yang melarang tindakan aborsi.
Menolak  atau tidak peduli pada perempuan yang mengalami permasalahan dengan KTD seringkali berdampak  fatal. Banyak kejadian yang menyebabkan perempuan cari jalan pintas dengan melakukan aborsi tidak aman. Aborsi  tidak aman bisa dilakukan oleh perempuan itu sendiri, orang lain yang tidak memiliki keterampilan medis, tenaga kesehatan yang tidak memenuhi standar kemampuan dan kewenangan.
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu :
a.    Aborsi Spontan / Alamiah : berlangsung tanpa tindakan. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.
b.    Aborsi Buatan / Sengaja : pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan  28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun pelaksana aborsi.
c.     Aborsi Terapeutik / Medis : pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik.  Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
Beberapa  hal yang bisa dilakukan oleh bidan untuk turut andil, upaya untuk menurunkan kematian ibu dengan aborsi :
a.       Mencegah  terjadinya KTD dengan cara :
1)      melakukan advokasi kemasyarakat tentang isu - isu kespro
2)      consent inform kepada klien kontrasepsi
b.      Melakukan konseling pada perempuan dengan masalah KTD, tanpa sikap menghakimi
c.       Sampaikan informasi yang diperlukan, misalnya :
1)      Prosedur aborsi yang aman, kemungkinan efek samping
2)      Macam aborsi tidak aman dan dampaknya
3)      Resiko dari setiap keputusan yang diambil klien
4)      Cara mencegah KTD dikemudian hari
d.      Untuk kasus - kasus tertentu (KTD akibat perkosaan) / klien tetap memutuskan ingin mengakhiri kehamilannya, rujuk klien kepada tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan keterampilan untuk tindakan aborsi yang aman.






2.      EUTHANASIA
a. Pengertian
Euthanasia berasal dari Bahasa Yunani yaitu : ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan  norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
b. Kategori Euthanasia
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :
1)      Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
2)      Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
3)      Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.





c. Euthanasia Ditinjau dari Sudut Pemberian Izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
1)      Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
2)      Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
3)      Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.
d. Euthanasia Ditinjau Dari Sudut Tujuan
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
1)   Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
2)   Eutanasia hewan
3)   Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela

3.      ADOPSI / Pengangkatan anak
Adopsi berasal dari kata “adaptie” dalam bahasa Belanda. Menurut kasus hukum berarti “Pengangkatan seorang anak untuk anak kandungnya sendiri”. Dalam bahasa Malaysia dipakai kata adopsi, berarti anak angkat atau mengangkat anak. Sedangkan dalam Bahasa Inggris, “Edoft” (Adaption), berarti pengangkatan anak atau mengangkat anak. Dalam bahasa Arab disebut “Tabanni” yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “Mengambil Anak Angkat”.
Sistim Hukum yang Mengatur Adopsi / Pengangkatan Anak
1)      Hukum Barat (BW)
Dalam kitab UU Hukum Perdata (KUHP) tidak ditentukan satu   ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat yang ada hanyalah ketentuan tentang pengangkatan anak di luar kawin, seperti yang diatur dalam buku BW hal XII bagian ketiga, pasal 280-289, tentang pengakuan anak diluar kawin. Karena tuntutan masyarakat, maka  dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda : Staats Blad no : 124/1917, khusus pasal 5-15, yg mengatur masalah adopsi anak / anak angkat.
2)      Pasal 8 menyebutkan bahwa ada 4 syarat untuk pengangkatan anak :
a)      Persetujuan orang yang mengangkat anak.
b)      Jika anak diangkat adalah anak syah dari orangtuanya, diperlukan izin dari orangtuanya itu. Jika bapaknya sudah wafat dan ibunya kawin lagi, kasus ada persetujuan dari walinya.
c)      Jika anak yang diangkat lahir di luar perkawinan, izin  diperlukan dari orangtua yang mengakui sebagai anaknya. Jika anak tidak diakui harus ada persetujuan dari walinya.
d)     Jika anak yang akan diangkat sudah berusia 14 tahun, maka persetujuan adalah dari anak sendiri. 






4.      TRANSPLANTASI
a.    Pengertian
Transplantasi organ adalah transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ
yang rusak atau tak befungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor. Donor organ dapat merupakan orang yang masih hidup ataupun telah meninggal.
Teknik transplantasi dimungkinkan untuk memindahkan suatu organ atau jaringan tubuh manusia yang masih berfungsi baik, baik dari orang yang masih hidup maupun yang sudah meninggal ke tubuh manusia lain.
Dalam penyembuhan suatu penyakit, adakalanya transplantasi tidak dapat dihindari dalam menyelamatkan nyawa si penderita. Dengan keberhasilan teknik transplantasi dalam usaha penyembuhan suatu penyakit dan dengan meningkatnya keterampilan dokter – dokter dalam melakukan transplantasi. Upaya transplantasi mulai diminati oleh para penderita dalam upaya penyembuhan yang cepat dan tuntas. Untuk mengembangkan transplantasi sebagai salah satu cara penembuhan suatu penyakit tidak dapat bagitu saja diterima masyarakat luas. Pertimbangan etik, moral, agama, hukum, atau sosial budaya ikut mempengaruhinya.


Transplantasi ditinjau dari sudut si penerima, dapat dibedakan menjadi :
1)        Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu sendiri.
2)        Homotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke tubuh orang lain.
3)        Heterotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari suatu spesies ke tubuh spesies lainnya.
b. Masalah Etik dan Moral dalam Transplantasi
1)        Donor Hidup
Adalah orang yang memberikan jaringan / organnya kepada orang lain ( resepien ). Sebelum memutuskan untuk menjadi donor, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang dihadapi, baik resiko di bidang medis, pembedahan, maupun resiko untuk kehidupannya lebih lanjut sebagai kekurangan jaringan / organ yang telah dipindahkan. Disamping itu, untuk menjadi donor, sesorang tidak boleh mengalami tekanan psikologis. Hubungan psikis dan omosi harus sudah dipikirkan oleh donor hidup tersebut untuk mencegah timbulnya masalah.





2)        Jenazah dan donor mati
Adalah orang yang semasa hidupnya telah mengizinkan atau berniat dengan sungguh – sungguh untuk memberikan jaringan / organ tubuhnya kepada yang memerlukan apabila ia telah meninggal kapan seorang donor itu dapat dikatakan meninggal secara wajar, dan apabila sebelum meninggal, donor itu sakit, sudah sejauh mana pertolongan dari dokter yang merawatnya. Semua itu untuk mencegah adanya tuduhan dari keluarga donor atau pihak lain bahwa tim pelaksana transplantasi telah melakukan upaya mempercepat kematian seseorang hanya untuk mengejar organ yang akan ditransplantasikan.
3)        Keluarga donor dan ahli waris
Kesepakatan keluarga donor dan resipien sangat diperlukan untuk menciptakan saling pengertian dan menghindari konflik semaksimal mungkin atau pun tekanan psikis dan emosi di kemudian hari. Dari keluarga resepien sebenarnya hanya dituntut suatu penghargaan kepada donor dan keluarganya dengan tulus. Alangkah baiknya apabila dibuat suatu ketentuan untuk mencegah tinmulnya rasa tidak puas kedua belah pihak.



4)        Resipien
Adalah orang yang menerima jaringan / organ orang lain. Pada dasarnya, seorang penderita mempunyai hak untuk mendapatkan perawatan yang dapat memperpanjang hidup atau meringankan penderitaannya. Seorang resepien harus benar – benar mengerti semua hal yang dijelaskan oleh tim pelaksana transplantasi. Melalui tindakan transplantasi diharapkan dapat memberikan nilai yang besar bagi kehidupan resepien. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa hasil transplantasi terbatas dan ada kemungkinan gagal. Juga perlu didasari bahwa jika ia menerima untuk transplantasi berarti ia dalam percobaan yang sangat berguna bagi kepentingan orang banyak di masa yang akan datang.
5)        Dokter dan tenaga pelaksana lain
Untuk melakukan suatu transplantasi, tim pelaksana harus mendapat parsetujuan dari donor, resepien, maupun keluarga kedua belah pihak. Ia wajib menerangkan hal – hal yang mungkin akan terjadi setelah dilakukan transplantasi sehingga gangguan psikologis dan emosi di kemudian hari dapat dihindarkan. Tnaggung jawab tim pelaksana adalah menolong pasien dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. Dengan demikian, dalam melaksanakan tugas, tim pelaksana hendaknya tidak dipengaruhi oleh pertimbangan – pertimbangan kepentingan pribadi.
6)        Masyarakat
Secara tidak sengaja masyarakat turut menentukan perkembangan transplantasi. Kerjasama tim pelaksana dengan cara cendekiawan, pemuka masyarakat, atau pemuka agama diperlukan unutk mendidik masyarakat agar lebih memahami maksud dan tujuan luhur usaha transplantasi. Dengan adanya pengertian ini kemungkinan penyediaan organ yang segera diperlikan, atas tujuan luhur, akan dapat diperoleh.
c. Transplantasi Ditinjau dari Aspek Hukum
Pada saat ini peraturan perundang – undangan yang ada adalah Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1981, tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Pokok – pokok peraturan tersebut adalah :
1)   Pasal 10
Transplantasi alat untuk jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan – ketentuan yaitu harus dengan persetujuan tertulis penderita dan keluarganya yang trdekat setelah penderita meninggal dunia.
2)   Pasal 14
Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan pernyataan tertulis keluarga terdekat.

3)   Pasal 15
Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon donor hidup, calon donor yang bersngkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi, akibat – akibat dan kemungkinan – kemungkinan yang dapat terjadi. Dokter yang merawatnya harus yakin benar bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.
4)   Pasal 16
Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas suatu kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi.
5)   Pasal 17
Dilarang memperjual – belikan alat atau jaringan tubuh manusia.
6)   Pasal 18
Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk keadaan dari luar negri
5.      BAYI TABUNG
Bayi tabung adalah upaya jalan pintas untuk mempertemukan sel sperma dan sel telur diluar tubuh (in vitro fertilization). Setelah terjadi konsepsi hasil tersebut dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu atau embrio transfer sehingga dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana layaknya kehamilan biasa. Status bayi tabung ada 3 macam :
1.     Inseminasi buatan dengan sperma suami.
2.    Inseminasi buatan dengan sperma donor.
3.    Inseminasi bautan dengan model titipan.
Beberapa Negara memperbolehkan donor sperma bukan suami, dan diakui secara legal. Kerahasiaan identitas donor yang bukan suami senantiasa dijaga, untuk menghindarkan masalah dikemudian hari. Terkait dengan proses bayi tabung, pada tahun 1979, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwanya. Pada intinya, para ulama menyatakan bahwa bayi tabung diperbolehkan selama sperma yang didonorkan berasal dari suami yang sah dari si perempuan yang rahimnya hendak digunakan dalam proses bayi tabung. Hal itu karena memanfaatkan teknologi bayi tabung merupakan hak bagi pasangan yang berikhtiar untuk memperoleh keturunan. Namun, jika sperma dan rahim yang digunakan bukan berasal dari pasangan suami istri yang sah, maka hal itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis di luar pernikahan yang sah. Dengan kata lain, bisa terjadi rahim seorang perempuan dipinjamkan untuk proses bayi tabung dari embrio seorang lelaki yang bukan suaminya. Nah, hal itu sama saja dengan perzinaan.

Pengambil Keputusan dalam Menghadapi Dilema Etik / Moral Pelayanan Kebidanan

Menurut Daryl Koehn (1994) bidan dikatakan profesional bila dapat menerapkan etika dalam menjalankan praktik. Bidan ada dalam posisi baik yaitu memfasilitasi pilihan klien dan membutuhkan peningkatan pengetahuan tentang etika untuk menetapkan dalam strategi praktik kebidanan.
Menurut George R.Terry, pengambilan keputusan adalah memilih alternatif yang ada. Ada 5 (lima) hal pokok dalam pengambilan keputusan:
1.      Intuisi berdasarkan perasaan, lebih subyektif dan mudah terpengaruh
2.      Pengalaman mewarnai pengetahuan praktis, seringnya terpapar suatu kasus meningkatkan kemampuan mengambil keputusan terhadap nsuatu kasus
3.      Fakta, keputusan lebih riel, valit dan baik.
4.      Wewenwng lebih bersifat rutinitas
5.      Rasional, keputusan bersifat obyektif, trasparan, konsisten

Faktor-Faktor  Yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan :
1.      Posisi/kedudukan
2.      Masalah, terstruktur, tidak tersruktur
3.      Situasi
4.      Kondisi
5.      Tujuan

Kerangka Pengambilan Keputusan dalam asuhan  kebidanan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Bidan harus mempunyai responsibility dan accountability.
2.      Bidan harus menghargai wanita sebagai individu dan melayani dengan rasa hormat.
3.      Pusat perhatian pelayanan bidan adalah safety and wellbeing mother.
4.      Bidan berusaha menyokong pemahaman ibu tentang kesejahteraan dan menyatakan pilihannya pada pengalaman situasi yang aman.
5.      Sumber proses pengambilan keputusan yang lainnya adalah :
a.      Knowledge
b.      Ajaran intrinsic
c.       Kemampuan berfikir kritis
d.      Kemampuan membuat keputusan klinis yang logis
Pengambilan keputusan yang etis
1.      Ciri keputusan yang etis, meliputi :
a.      Mempunyai pertimbangan benar salah
b.      Sering menyangkut pilihan yang sukar
c.       Tidak mungkin dielakkan
d.      Dipengaruhi oleh norma,situasi,iman,lingkungan social.
2.      Situasi
a.      Mengapa kita perlu situasi:
1)      Untuk menerapkan norma-norma terhadap situasi
2)      Untuk melakukan perbuatan yang tepat dan berguna
3)      Untuk mengetahui masalah-masalah yang perlu diperhatikan
b.      Kesulitan-kesulitan dalam mengerti situasi:
1)      Kerumitan situasi dan keterbatasan pengetahuan kita
2)      Pengertian kita terhadap situasi sering dipengaruhi oleh kepentingan, prasangka dan factor-faktor subjektif lain
c.       Bagaimana kita memperbaiki pengertian kita tentang situasi :
1)      Melakukan penyelidikan yang memadai
2)      Menggunakan sarana ilmiah dan keterangan para ahli
3)      Memperluas pandangan tentang situasi
4)      Kepekaan terhadap pekerjaan
5)      Kepekaan terhadap kebutuhan orang lain
            Sistim pengambilan keputusan merupakan bagian dasar dan integral dalam praktek suatu profesi. Keberadaan yang sangat penting, karena akan menentukan tindakan selanjutnya. Keterlibatan bidan dalam proses pengambilan keputusan sangat penting karena dipengaruhi oleh 2 hal :
1.      Pelayanan ”one to one” : Bidan menghadapi klien secara perorangan dan bidan bisa memenuhi kebutuhan klien sesuai wewenang.
2.      Meningkatkan sensitivitas terhadap klien bidan berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan.
Pertimbangan Moral Dalam Pengambilan Keputusan Ketika Menghadapi Delima Etik :
Ø  TK I
Keputusan dan tindakan : Bidan merefleksikan pada pengalaman atau pengalaman rekan kerja.
Ø  TK II                                                                                                                                       Peraturan         : berdasarkan kaidah kejujuran ( berkata benar), privasi, kerahasiaan dan kesetiaan ( menepati janji. Bidan sangat familiar, tidak meninggalkan kode etik dan panduan praktek profesi.
Ø  TK III
Ada 4 prinsip etik yang digunakan dalam perawatan praktek kebidanan:
·         ANTONOMY, memperhatikan penguasaan diri, hak kebebasan dan pilihan individu.
·         BENETICENCE, memperhatikan peningkatan kesejahteraan klien, selain itu berbuat terbaik untuk orang lain.
·         NON MALETICENCE, tidak melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan apapun kerugian pada orang lain.
·         YUSTICE, memperhatikan keadilan, pemerataan beban dan keuntungan. ( Beaucamo & Childrens 1989 dan Richard, 1997)

Dasar Pengambilan keputusan :
1.      Bersifat segera
2.      Keterpaksaaan karena suatu krisis, yang menuntut sesuatu unutuk segera dilakukan.
Bentuk pengambilan keputusan :
1.      Strategi : dipengaruhi oleh kebijakan organisasi atau pimpinan, rencana dan masa depan, rencana bisnis dan lain-lain.
2.      Cara kerja : yang dipengaruhi pelayanan kebidanan di dunia, klinik, dan komunitas.
3.      Individu dan profesi : dilakukan oleh bidan yang dipengaruhi oleh standart praktik kebidanan.
Pendekatan tradisional dalam pengambilan keputusan :
1.      Mengenal dan mengidentifikasi masalah
2.      Menegaskan masalah dengan menunjukan hubungan antara masa lalu dan sekarang.
3.      Memperjelas hasil prioritas yang ingin dicapai.
4.      Mempertimbangkan pilihan yang ada.
5.      Mengevaluasi pilihan tersebut.
6.      Memilih solusi dan menetapkan atau melaksanakannya.
Pengambilan Keputusan yang Etis
Ciri 2nya:
1.      Mempunyai pertimbangan yang benar atau salah
2.      Sering menyangkut pilihn yang sukar
3.      Tidak mungkin dielakkan
4.      Dipengaruhi oleh norma, situasi, iman,lingkungan social.


Pengambilan keputusan dalam keadaan kritis :
1.      Identifikasi dan tegaskan apa masalahnya, baik oleh sendiri atau dengan orang lain.
2.      Tetapkan hasil apa yang diinginkan.
3.      Uji kesesuaian dari setiap solusi yang ada.
4.      Pilih solusi yang lebih baik.
5.      Laksanakan tindakan tanpa ada keterlambatan.
TEORI-TEORI PENGAMBILAN KEPUTUSAN
1.      Teori  Utilitarisme
Teori utilitarisme mengutamakan adanya konsekuensi kepercayaan adanya kegunaan. Dipercaya bahwa semua manusia mempunyai perasaan menyenangkan dan perasaan sakit. Ketika keputusan dibuat seharusnya memaksimalkan kesengangan dan meminimalkan ketidaksenangan. Prinsip umum dan utilitarisme adalah didasarkan bahwa tibdakan moral menghasilkan kebahagiaan yang besar bila menghasilkan jumlah atau angka yang besar . Ada 2 bentuk teori utilitarisme :
a)      Utilitarisme berdasarkan tindakan
Setiap tindakan ditujukan untuk keuntungan yang akan menghasilkan hasil atau tindakan yang lebih besar.
b)      Ultilitarisme berdasarkan aturan
Modifikasi antara utilitarisme tindakan dan aturan moral, aturan yang baik akan menghasilkan keuntungan yang maksimal.
2.      Teori Deontology
Menurut Immanuel Kant: sesuatu dikatakan baik dalam arti sesungguhnya adalah kehendak yang baik, kesehatan, kekayaan, kepandaian adalah baik, jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia, tetapi jika digunakan dengan kehendak yang jahat, akan menjadi jelek sekali. Kehendak menjadi baik jika bertindak karena kewajiban . Kalau seseorang bertindak karena motif tertentu atau keinginan tertentu berarti disebut tindakan yang tidak baik. Bertindak sesuai kewajiban disebut legalitas. Menurut W.D Ross (1877-1971)  setiap manusia mempunyai intuisi akan kewajiban, semua kewajiban berlaku langsung pada diri kita. Kewajiban untuk mengatakan kebenaran merupakan kewajiban utama, termasuk kewajiban kesetiaan, ganti rugi, terima kasih, keadilan, berbuat baik.
Contoh : bila berjanji harus ditepati, bila meminjam harus dikembalikan. Dengan memahami kewajiban akan terhindar dari keputusan yang menimbulkan konflik atau dilema.
3.      Teori Hedonisme
Menurut Aristippos(433-355 SM) sesuai kodratnya setiap manusia mencari kesenangan dan menhindari ketidak senangan. Akan tetapi ada batas untuk mencari kesenangan. Hal yang penting adalah menggunakan kesenangan dengan baik dan tidak terbawa oleh kesenangan. Menurut epikuros(341-270 SM) dalam menilai kesenangan(hedone) tidak hanya kesenangan indrawi tetapi kebebasan dan rasa nyeri, kebebasan dari keresahan jiwa juga. Apa tujuan terakhir dari kehidupan manusia adalah kesenangan. Menurut john locke(1632-1704), kita sebut baik bila meningkatkan kesenangan dan sebaliknya dinamakan jahat kalau mengurangi kesenangan atau menimbulkan ketidak senangan.
4.      Teori Eudemonisme
Menurut Filsuf Yunani Aristoteles (384-322 SM) , bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan, ingin mencapai sesuatu yang baik bagi kita. Seringkali kita mencari tujuan untuk mencapai suatu tujuan yang lain lagi. Semua orang akan menyetujui bahwa tujuan terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Seseorang mampu mencapai tujuannya jika mampu menjalankan fungsinya dengan baik, keunggulan manusia adalah akal dan budi. Manusia mencapai kebahagiaan dengan menjalankan kegiatan yang rasional. Adadua macam keutamaan, yaitu :
a.      Keutamaan intelektual
b.      Keutamaan moral
Dimensi etik dalam peran bidan
Peran bidan secara menyeluruh meliputi beberapa aspek :
·         Praktisi
·         Penasehat
·         Konselor
·         Teman
·         Pendidik
·         Peneliti
Menurut United Kingdom Central Council (UKCC) 1999, tanggungjawab bidan meliputi :
Ø  Mempertahankan dan meningkatkan keamanan ibu dan bayi
Ø  Menyediakan pelayanan yang berkualitas dan informasi serta nasehat yang didasarkan pada evidence based.
Ø  Mendidik dan melatih calon bidan untuk bekerjasama dalam profesi dan memberikan pelayanan dengan memiliki tanggungjawab yang sama, termasuk dengan teman sejawat atau kolega sehingga bagaimana agar fit for practice and fit for purpose (menguntungkan untuk praktek dan menguntungkan untuk tujuan)
     Dimensi kode etik , meliputi :
Antara anggota profesi dan klien
Antara anggota profesi dan system kesehatan
Antara anggota profesi dan profesi kesehatan
Antara sesama anggota profesi

Prinsip kode etik terdiri dari :
Menghargai otonomi
Melakukan tindakan yang benar
Mencegah tindakan yang dapat merugikan
Memperlakukan manusia dengan adil
Menjelaskan dengan benar
Menepati janji yang telah disepakati
Menjaga kerahasiaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

licu

licu
q